GTK - SMAN 1 Banda Baro, Aceh Utara, berlokasi di wilayah yang dihuni oleh para petani desa. Meski berada di antara wilayah laut dan gunung, sekolah ini termasuk sekolah kecil. Selain itu butuh perjalanan selama dua jam untuk sampai ke ibu kota Kab. Aceh Utara. Begitu juga, kantor Dinas Pendidikan terdekat, keduanya harus ditempuh dengan durasi yang sama. Sampai tahun 2019 sekolah ini masih disebut sebagai sekolah tertinggal.
Dulu, murid-murid di sekolah ini, yang semuanya anak-anak petani, harus dijemput ke rumah agar mau sekolah. Kalau sudah lulus sekolah, harus dipaksa agar mau melanjutkan ke universitas. Demikian cerita guru-guru yang sudah lama mengajar di sana. Namun, sejak tahun 2022, sekolah ini mulai melangkah dengan melakukan implementasi Kurikulum Merdeka, opsi Mandiri Berbagi.
Saripah Daulay, merupakan salah satu guru muda di sekolah ini. Panggilan akrabnya Cikgu Ipeh. Ia mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Ia berasal dari Medan, baru lulus menjadi guru di bulan Maret 2019, dan ditempatkan di Aceh Utara. Ia baru mulai mengajar pada bulan September 2019. Namun, pada November ia mengikuti pembekalan selama tiga bulan. “Saya belum sempat mengajar karena setelah pembekalan terjadi pandemi,” ungkapnya.
Selama pandemi, sebagian besar sekolah menerapkan pembelajaran daring. Saripah dan guru lain di sekolahnya sebenarnya ingin melakukan pembelajaran daring. Akan tetapi hal tersebut tidak mudah bagi mereka, karena daerah sekolah mereka masih sulit untuk mendapatkan jaringan internet yang stabil. Apalagi, sebagian besar siswa tidak punya biaya untuk membeli ponsel maupun membeli kuota internet.
Inilah tantangan berat yang dihadapi Saripah sebagai guru baru. Karena belum bisa mengajar dengan maksimal, ia pun tidak sempat mencoba menggunakan Kurikulum 2013. Setelah sekian lama pandemi, barulah di awal 2022 mulai bisa diterapkan pembelajaran tatap muka terbatas. Saat itulah, sekitar bulan Februari, sekolahnya mendapatkan informasi tentang adanya Kurikulum Merdeka dari Dinas Pendidikan setempat.
Membantu Sekolah Kecil
Dengan adanya peluang yang lebih besar bagi guru untuk berdiskusi dan berkolaborasi dengan murid, serta bekerja sama membuat kesepakatan kelas, Saripah mengaku sangat tertarik dengan model pembelajaran yang diterapkan dalam Kurikulum Merdeka. “Ini benar-benar berpusat pada murid dan guru bisa menjadi teman murid yang menyenangkan,” ungkapnya.
Saripah memulai karirnya ketika Kurikulum Merdeka baru diterapkan dan karena itu ia tak punya pengalaman untuk membandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Namun begitu, ia sangat yakin bahwa apa yang ia temukan dalam kurikulum baru ini sangat membantunya untuk menghadapi murid-murid yang tumbuh di lingkungan sosial dan lingkungan pendidikan yang mempunyai akses serba terbatas.
Pada kondisi seperti itulah Kurikulum Merdeka memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi guru untuk membuat inovasi berdasarkan kesepakatan kelas. Saripah meminta muridnya untuk memberikan masukan terhadap metode belajar yang mereka harapkan dan kemudian murid menjawab bahwa mereka menginginkan bermain sambil belajar.
“Saya kemudian membuat metode belajar dengan alat peraga ular tangga. Kami desain bentuknya bersama-sama. Guru dan murid terlibat dalam membuat media pembelajaran yang sama-sama disenangi,” cerita Saripah. Lalu, setelah ular tangga itu selesai, Saripah meminta murid-muridnya mencari pertanyaan sekaligus jawaban terkait pelajaran agama, yang akan digunakan sebagai bagian dari permainan ular tangga tersebut.
Saripah mengakui bahwa cara seperti itu menimbulkan rasa senang dan semangat dalam belajar. “Murid menjadi begitu antusias dan muncul semacam keinginan kuat dalam belajar untuk menyelesaikan permainan dengan memberikan jawaban yang benar. Mereka benar-benar semangat,” kenang Saripah.
Mengajar Agama Tanpa Ceramah
Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan kepada murid untuk mendiskusikan model pembelajaran yang mereka senangi, Saripah pun mengakui bahwa itu membuatnya bisa menyampaikan pelajaran agama menggunakan berbagai cara, tanpa harus terpaku pada gaya berceramah.
Persoalan utama yang dihadapi Saripah ketika menerapkan metode berceramah adalah kendala bahasa. Semua murid-muridnya belum terlalu terbiasa dengan bahasa Indonesia. Mereka sebenarnya mendapat pelajaran agama dengan sangat baik di rumah masing-masing, hanya saja dengan menggunakan bahasa Aceh.
Akibatnya, ketika mereka mendengar guru menyampaikan pelajaran agama dengan bahasa Indonesia, murid-murid itu mesti menalar dulu pelan-pelan apa yang dimaksudkan oleh guru. Bahkan tak jarang, karena adanya perbedaan bahasa itu, dapat terjadi mis komunikasi saat penyampaian pelajaran bahkan ada murid yang kadang meragukan kebenaran dari apa yang disampaikan guru tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, peluang yang diberikan Kurikulum Merdeka lagi-lagi membuat Saripah selalu punya cara menghadapi kondisi murid-muridnya. Setelah menggunakan metode permainan ular tangga tersebut, Ia pun kembali menggunakan metode permainan lain dalam pembelajaran, yaitu bermain kartu. Saripah menyanggupi.
Ia membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Saripah memberikan modul belajar, dan mendiskusikan materi yang ada di dalam modul. Setiap kelompok diberi tanggung jawab untuk menjawab pertanyaan yang tertera di dalam kartu. Lalu, sembari bermain kartu, mereka sebenarnya sedang belajar dengan berbagi pertanyaan sekaligus berlomba menjawabnya. Seperti permainan ular tangga, di dalam keseruan bermain pun mereka diam-diam memahami pokok-pokok pelajaran itu sendiri.
Pada gilirannya, dalam kondisi seperti itu, Saripah tak hanya berjuang untuk menyampaikan materi pelajaran dengan efektif, tetapi juga harus meyakinkan para muridnya bahwa mereka harus belajar terus berinteraksi dengan bahasa Indonesia. “Bagi siswa yang tidak berbahasa Indonesia saya beri motivasi bahwa suatu saat nanti, ketika mereka selesai sekolah mungkin akan pergi keluar dari Aceh dan bertemu dengan banyak orang lainnya,” ungkap Saripah.
Belajar dengan Komunitas
Saripah mengakui bahwa Implementasi Kurikulum Merdeka di sekolahnya masih membutuhkan jalan yang panjang. Tidak mudah untuk membuat perubahan yang besar. Bagaimana pun juga, dampak kebingungan di masa pandemi masih terasa.
Tapi setidaknya para murid sudah mulai mau bekerja sama dengan guru dan para guru lain pun mulai melakukan refleksi pembelajaran. Ia sudah sangat bersyukur dengan capaian pelan-pelan ini. Untuk ke depan, ia meyakini, dialog antara murid dan guru tetap harus dilakukan.
Bagi Saripah itu semua merupakan awal yang sangat membahagiakan. Kini ia dan beberapa guru mencoba mengajak guru-guru lain untuk mempelajari Kurikulum Merdeka melalui Platform Merdeka Mengajar. Selain itu, juga ada kegiatan daring yang berguna untuk memperkaya wawasan dalam membuat inovasi pembelajaran.
Di luar sekolah, ia cukup aktif berkomunitas bersama IGI Aceh Utara dan KOMBELA (Komunitas Belajar.id Aceh). Apa yang dapat dipelajari dari komunitas itu, ia bawa untuk dibagi-bagikan ke sekolah. “Yang jelas kami berusaha berdiskusi bersama, agar tidak mentok kalau ada kendala dalam pembelajaran,” terangnya dengan optimis.