Webinar SPAB Seri 3: Cerita dari Garda Terdepan Pendidikan Aman Bencana

Di tengah ancaman bencana alam yang menghantui berbagai wilayah Indonesia, hadir satu inisiatif penting yang menjadikan sekolah bukan hanya sebagai tempat belajar, tetapi juga pusat kesiapsiagaan, yakni Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Dalam seri ketiga webinar SPAB yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan dan Pendidikan Guru (GTKPG), pada Senin 30 Juni 2025, beberapa guru dan kepala sekolah berbagi praktik baik membangun budaya sadar bencana di lingkungan sekolah.

Dalam sambutannya, Kepala Bagian Keuangan dan Umum, Setditjen GTKPG, Lilik Fatchuriyah, menyampaikan bahwa Program SPAB, bukan hanya sebatas agenda teknis mitigasi risiko, tetapi merupakan strategi besar untuk menciptakan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan berkelanjutan. “Sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu, tetapi juga tempat pembentukan karakter, penanaman nilai, dan penguatan komunitas,” tegasnya.

Ia juga menekankan pentingnya peran kepala sekolah dan guru sebagai garda terdepan. SPAB hanya bisa berjalan efektif bila para pendidik mengintegrasikan pendidikan kebencanaan ke dalam pembelajaran intrakurikuler, ekstrakurikuler, hingga kokurikuler. Pendidikan kebencanaan tidak perlu berdiri sendiri, tetapi bisa melebur dalam berbagai mata pelajaran dan aktivitas sekolah. Dengan begitu, murid tidak hanya paham teori, tetapi juga terlatih dalam praktik nyata.

Lilik berharap, sesi webinar ini menjadi wadah berbagi pengetahuan dan pengalaman, mulai dari identifikasi risiko, penyusunan rencana tanggap darurat, hingga simulasi evakuasi. Ia mengajak seluruh peserta untuk belajar dari kisah para guru yang telah mengimplementasikan SPAB, agar dapat menularkan inspirasi dan semangat membangun satuan pendidikan yang aman, tangguh, dan berkelanjutan.

Webinar ini menghadirkan tiga narasumber yang berbagi praktik baik implementasi SPAB di sekolah masing-masing. Ketiganya Ialah Ernanigtyastuti (Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Insan Kreatif Daerah Istimewa Yogyakarta), I Kadek Suwitrayasa (Guru SMA Negeri 2 Bangli, Bali), dan Selvie Larasanti (Guru Sekolah Cikal Bandung).

Dalam paparannya, Ernanigtyastuti menjelaskan bahwa Yogyakarta merupakan wilayah yang rawan gempa dan bencana alam lainnya. Sejak 2016, SD Muhammadiyah Insan Kreatif Kembaran (Muhika) memulai inisiatif SPAB secara mandiri. Tidak ada proyek besar maupun anggaran khusus, semuanya dimulai dari kesadaran dan komitmen kecil yang tumbuh dari komunitas sekolah.

Sekolah mulai dengan membuat tim kecil siaga bencana, memasang rambu evakuasi, membuat peta risiko sederhana, hingga menyelenggarakan simulasi evakuasi. Pada 2017, mulai mengadakan ekstrakurikuler “Kelas PRB” yang berfokus pada pengurangan risiko bencana. Mereka juga menyisipkan materi PRB ke dalam LKS dan ujian sekolah.

Inovasi lain yang dilakukan adalah menyediakan tas siaga bencana di kelas, penyediaan APAR, pelatihan pemadaman api, pelatihan pertolongan pertama, hingga memasukkan SPAB ke dalam RKAS tahunan.

Hebatnya, program ini berjalan konsisten selama 9 tahun tanpa hambatan besar. Kuncinya, menurut Ernanigtyastuti, adalah gotong royong, dokumentasi yang rapi, dan semangat warga sekolah. Hasilnya, pada 2019 sekolah ini mendapatkan penghargaan ASEAN Safe School Champion.

Berbeda dengan pendekatan yang dilakukan SD Muhika, I Kadek Suwitrayasa menekankan peran penting struktur formal dalam mengimplementasikan SPAB di SMA Negeri 2 Bangli, Bali. Ia mengawali cerita dengan mengingat kembali gempa tahun 2021 yang menjadi titik balik kesadaran sekolah akan pentingnya kesiapsiagaan.

Langkah pertama yang mereka lakukan adalah membentuk Tim Siaga Bencana Sekolah, menyusun SOP kedaruratan, dan melibatkan komite sekolah, BPBD, serta PMI. Mereka juga menyelenggarakan pelatihan pertolongan pertama dan simulasi evakuasi secara berkala.

Materi Pengurangan Risiko Bencana diintegrasikan ke pelajaran Geografi dan PPKn, menjadikannya bagian dari proses pembelajaran yang formal dan sistematis. Lingkungan fisik sekolah pun diperhatikan, dengan pemasangan rambu evakuasi dan evaluasi kelayakan bangunan.

Kadek mengungkapkan adanya tantangan, seperti minimnya pemahaman awal, keterbatasan fasilitas, koordinasi lintas pihak yang belum optimal, dan kurangnya evaluasi pasca simulasi. Namun dengan pelatihan rutin, penjadwalan yang lebih matang, dan peningkatan komunikasi, sekolahnya berhasil menumbuhkan budaya sadar bencana yang kokoh.

Berbeda dari dua narasumber sebelumnya, Selvie Larasanti mengusung pendekatan yang kontekstual. Di Sekolah Cikal Bandung, pendidikan kebencanaan dikaitkan dengan isu keberlanjutan dan perubahan iklim. Murid diajak belajar secara tematik melalui observasi langsung dan proyek berbasis aksi nyata.

Misalnya, murid kelas 2 SD diminta melakukan observasi ke Sungai Cikapundung, lalu membuat laporan berita dalam bentuk video atau laporan koran. Mereka juga belajar memilah sampah, membuat kerajinan tentang makhluk hidup yang terdampak bencana, dan membersihkan lingkungan sekitar sekolah. Semua ini menjadi bagian dari asesmen pembelajaran.

Kolaborasi juga menjadi kunci pendekatan Sekolah Cikal. Mereka bekerja sama dengan SD Trikarsa, komunitas bank sampah, serta orang tua siswa. Bahkan, murid dilibatkan dalam Cikal Bank Sampah, sebuah kegiatan rutin yang mengajarkan anak tentang siklus sampah dan kontribusi pada lingkungan.

Peran guru dalam pendekatan ini sangat krusial. Menurut Selvie, guru bukan hanya penyampai materi, tapi juga fasilitator, pembelajar sepanjang hayat, dan panutan yang mengajak murid hidup ramah lingkungan secara nyata.

Pada intinya, SPAB bukan sekadar agenda pelengkap dalam pendidikan, melainkan investasi jangka panjang dalam membentuk generasi tangguh dan berdaya. Ketiga guru yang hadir membagikan pendekatan yang beragam, dari gerakan komunitas, pendekatan struktural, hingga pembelajaran kontekstual. Namun semuanya bermuara pada satu hal, yakni membangun budaya sadar bencana di sekolah.-