Jakarta, 31 Oktober - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), melalui Direktorat Jenderal Guru Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (Ditjen GTKPG), bersama dengan PLAN Indonesia kembali menggelar Webinar Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) pada Kamis (30/10). Webinar SPAB Seri 7 kali ini bertajuk “Belajar Tak Boleh Berhenti: Dukungan Psikososial dan Pendidikan pada Situasi Darurat oleh Guru”, yang menyoroti pentingnya peran guru dalam memastikan pendidikan tetap berjalan meski di tengah krisis dan bencana.
Dalam sambutan pembukaan, Direktur Guru Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Putra Asga Elevri menyatakan bahwa selain sebagai garda terdepan pendidikan, guru juga merupakan agen pemulihan psikososial bagi peserta didik setelah terjadi bencana. Menurut dia, dalam kondisi penuh ketidakpastian, guru lah yang memastikan bahwa semangat belajar anak-anak Indonesia tidak pernah padam.
“Kami mengajak seluruh guru untuk terus berinovasi, berkolaborasi, dan berbagi praktik baik dalam menciptakan pembelajaran yang adaptif dan tangguh. Mari kita wujudkan semangat ‘Belajar Tak Boleh Berhenti’ sebagai komitmen bersama, bahwa apapun tantangannya pendidikan harus terus berjalan,” kata Putra.
Program SPAB, menurut Putra, merupakan langkah nyata pemerintah dalam membangun budaya sadar bencana di satuan pendidikan. Di mana melalui program ini, sekolah diajak untuk memetakan risiko, menyusun rencana tanggap darurat, melakukan simulasi evakuasi, dan menanamkan nilai-nilai kesiapsiagaan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.
Acara ini menghadirkan narasumber, Frederika Rambu, Project Manager Plan International Indonesia, Sigit Susilo, Guru SMAN 1 Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, dan Muhammad Alif Dzulfikar, Youth Ambassador for Education in Emergency.
Dalam paparannya, Frederika Rambu menjelaskan bahwa pendekatan pendidikan dalam situasi darurat didasarkan pada Standar Minimum Inter-Agency Network for Education in Emergencies (INEE), kerangka internasional yang untuk menjamin hak anak atas pendidikan bermartabat di tengah bencana.
Standar ini mencakup lima domain utama, yakni Standar Dasar tentang koordinasi, partisipasi masyarakat, dan analisis kebutuhan agar respon pendidikan terarah; Akses dan Lingkungan Belajar yang menjamin semua anak dapat belajar di ruang yang aman dan setara; Belajar-Mengajar yang menekankan kurikulum kontekstual, pelatihan guru, dan proses belajar yang mendukung pemulihan psikososial; Guru dan Tenaga Kependidikan yang memastikan perlindungan, dukungan, dan kesejahteraan bagi pendidik sebagai garda depan; serta Kebijakan Pendidikan yang menegaskan pentingnya perencanaan dan regulasi nasional agar pendidikan menjadi bagian dari sistem tangguh bencana.
Selain itu, Frederika menekankan bahwa dukungan Psikososial menjadi salah satu bagian yang penting dalam pendidikan dalam situasi darurat. Hal ini untuk memastikan anak anak tetap sehat secara mental, psikologis, dan sosial sehingga memiliki kesempatan untuk terus tumbuh dan mencapai masa depan yang baik.
Ketangguhan Sekolah dan Peran Anak Muda Hadapi Bencana
Sedangkan pembicara berikutnya, Sigit Susilo, membagikan pengalaman nyata SMAN 1 Ngemplak, Sleman, ketika menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Di mana selama dua minggu lamanya kegiatan belajar mengajar sempat berhenti total karena gedung sekolah tertutup abu tebal.
Dalam masa tanggap darurat, pembelajaran dilakukan secara darurat di sekolah menggunakan fasilitas seadanya. Fokus utama saat itu bukan pada capaian akademik, melainkan pemulihan psikologis siswa. Hal ini karena beberapa siswa menunjukkan gejala trauma dan depresi mendalam. Sementara guru berperan aktif memberikan dukungan emosional sambil menata kembali kegiatan belajar secara bertahap.
Kemudian tiga tahun setelah erupsi Merapi, Sigit Susilo menjelaskan, SMAN 1 Ngemplak menggelar kegiatan “Refleksi Erupsi Merapi 2010” berupa simulasi mandiri penanganan bencana yang diinisiasi oleh OSIS bersama BPBD DIY dan relawan lokal. Kegiatan ini melibatkan seluruh warga sekolah dan empat sekolah sekitar sebagai bagian dari edukasi kesiapsiagaan.
“Saat itu sekolah kami belum menjadi Sekolah Siaga Bencana, dan baru tahun 2018 sekolah kami dikukuhkan sebagai Sekolah Siaga Bencana oleh Pemerintah Kabupaten Sleman. Dan di tahun 2023 sekolah kami ditetapkan kembali menjadi Satuan Pendidikan Aman Bencana oleh Pemerintah daerah Daerah Istimewa Yogyakarta,” jelas Sigit.
Sementara itu, Muhammad Alif Dzulfikar, menekankan bahwa kaum muda dan warga sekolah adalah aktor kunci dalam membangun ketangguhan pendidikan di tengah bencana. Mengutip data bahwa 75% sekolah di Indonesia berada di wilayah rawan bencana, Alif mengingatkan perlunya perubahan cara pandang, yakni dari melihat sekolah dan siswa sebagai pihak rentan, justru harus menjadi bagian dari solusi. “Itulah yang selama ini kami lakukan, yakni melihat anak didik, yang juga merupakan kaum muda, sebagai aktor kunci ketangguhan sekolah,” jelasnya.
Alif juga menyoroti bagaimana gerakan kaum muda kini meluas ke dunia digital melalui pengembangan modul e-learning, sesi edukasi daring, hingga kampanye kebencanaan di media sosial. Baginya, ketangguhan sekolah bukan sekadar urusan infrastruktur, tetapi soal pembiasaan dan karakter. Ia pun mengajak guru dan murid untuk menumbuhkan muscle memory kesiapsiagaan melalui latihan evakuasi rutin dan penyisipan pesan mitigasi dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.
Pada intinya, webinar ini memastikan bahwa seluruh guru di Indonesia tidak hanya memiliki kemampuan pedagogis, tetapi juga keterampilan dalam memberikan dukungan psikososial, mitigasi, dan pemulihan pendidikan di tengah krisis. Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, organisasi kemanusiaan, dan komunitas pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan budaya sadar bencana di satuan pendidikan serta memperkuat karakter tangguh dan empati di kalangan guru dan murid.